![](file:///C:\Users\UseR\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Sungai Brantas merupakan sungai terpanjang di Jawa Timur, dengan
panjang ± 320 km dengan daerah aliran
seluas ± 12.000 km2,
atau lebih kurang seperempat luas wilayah propinsi Jawa Timur. Sungai
Brantas bersumber pada lereng Gunung Arjuna dan Anjasmara
bermuara di selat Madura. Jumlah penduduk di wilayah ini ± 14 juta jiwa (40 % dari penduduk Jawa Timur),
dimana sebagian besar bergantung pada sumberdaya air, yang merupakan
sumber utama bagi kebutuhan air baku untuk konsumsi domestik, irigasi,
industri, rekreasi, pembangkit tenaga listrik,
dan lain-lain
(Anonymous,1996).
Menurut Nontji (1986) sungai merupakan perairan terbuka yang mengalir (lotik)
yang mendapat masukan dari semua buangan pelbagai kegiatan manusia di daerah
pemukiman, pertanian, dan industri di daerah sekitarnya. Masukan buangan ke
dalam sungai akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia, dan
biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat menghabiskan bahan-bahan yang
essensial dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan. Berkembangnya
kegiatan penduduk di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, seperti bertambahnya pemukiman
penduduk, kegiatan industri rumah tangga, dan kegiatan pertanian, dapat
berpengaruh terhadap kualitas airnya, karena limbah yang dihasilkan dari
kegiatan penduduk tersebut dibuang langsung ke sungai.Perkembangan industri yang
semakin cepat, dan intensifikasi air irigasi akan menyebabkan timbulnya
berbagai permasalahan. Adanya masukan bahan-bahan terlarut yang dihasilkan oleh
kegiatan penduduk di sekitar DAS Brantas sampai pada batas-batas tertentu tidak
akan menurunkan kualitas air sungai. Namun demikian apabila beban masukan
bahan-bahan terlarut tersebut melebihi kemampuan sungai untuk membersihkan diri
sendiri (self purification), maka timbul permasalahan yang serius yaitu pencemaran
perairan, sehingga berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota perairan dan kesehatan
penduduk yang memanfaatkan air sungai tersebut. BIOSAIN, VOL. 1 NO. 1, April
2001 32 Odum (1993) menjelaskan
bahwa komponen biotik dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisika, kimia,
dan biologi dari suatu perairan. Salah satu biota yang dapat digunakan sebagai
parameter biologi dalam menentukan kondisi suatu perairan adalah hewan
makrobentos. Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makrobentos sangat
peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh
terhadap komposisi dan kelimpahannya.
Hal ini tergantung pada toleransinya terhadap perubahan lingkungan,sehingga
organisme ini sering dipakai sebagai indicator tingkat pencemaran suatu
perairan. Sumber-sumber pencemaran air Sungai Brantas antara lain berasal dari
limbah industri, limbah domestik dan air buangan dari saluran irigasi dan
drainasi.
Pada DAS Brantas bagian hulu sumber pencemaran yang utama berasal dari
limbah domestik (rumah tangga dan pertanian/alami). Masukan bahan organik ke
dalam perairan mempunyai akibat yang sangat komplek, tidak hanya deoksigenasi dalam
air, tetapi dapat terjadi penambahan padatan tersuspensi, bahan beracun seperti
ammonia, sulfida atau cyanida serta pengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan komunitas
biologi dalam hal ini adalah makrobentos. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
diperlukan kegiatan penelitian tentangtingkat pencemaran dan kualitas perairan
di DAS Brantas bagian hulu. Selanjutnya dari hasil penelitian tersebut
diharapkan dapat dijadikan masukan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan lingkungan,
dalam rangka mengendalikan pencemaran di Sungai Brantas.
Salah satu permasalahan yang ada saat ini adalah semakin menurunnya
kualitas air Sungai Brantas sejalan dengan makin meningkatnya berbagai kegiatan
penduduk di sepanjang DAS Brantas. Penurunan kualitas air Sungai Brantas ini selain
diakibatkan oleh pencemaran alami seperti terjadinya erosi dan limbah pertanian
juga dikarenakan oleh adanya bahan-bahan organik berupa limbah dari penduduk
sepanjang DAS serta aliran masuk lainnya yang turut mempengaruhi kualitas air
Sungai Brantas. Penambahan bahan organik maupun anorganik berupa limbah ke
dalam perairan selain akan mengubah susunan kimia air, juga akan mempengaruhi
sifat-sifat biologi dari perairan tersebut. Banyaknya bahan organik di dalam
perairan akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut di dalam perairan
dan jika keadaan ini berlangsung lama akan menyebabkan perairan menjadi
anaerob, sehingga organisme aerob akan mati. Selain itu diketahui juga bahwa
banyak senyawa organik yang bersifat toksik seperti fenol, pestisida, surfaktan,
dan lain-lain dapat menimbulkan kematian organisme seperti plankton, bentos dan
ikan.
Makrozoobentos terdapat diseluruh badan sungai mulai dari hulu sampai ke
hilir. Dengan keberadaan makrobentos yang hidupnya menetap dengan waktu yang
relatif lama, maka makrobentos ini dapat digunakan untuk menduga status suatu
perairan. Penggunaan makrobentos sebagai penduga kualitas air dapat digunakan
untuk kepentingan pendugaan pencemaran baik yang
berasal dari point
source pollution maupun diffuse source pollution.
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut,maka penelitian ini perlu untuk
dilakukan.Melalui serangkaian pengamatan, pengukuran sifat fisika-kimia
air dan keanekaragaman jenis hewan makrozoobentos, dapat ditentukan status
kualitas perairan Sungai Brantas. Data yang diperoleh diharapkan dapat
bermanfaat sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah dalam
perencanaan pembangunan dan pengendalian pencemaran sungai Brantas.
1.2.Tujuan penulisan
Tujuan penulisan adalah :
Memberikan informasi tentang klassifikasi Sungai Brantas hulu
berdasarkan komunitas hewan makrobentosnya
Memberikan informasi status kualitas perairan Sungai Brantas akibat
limbah bahan organik di sungai bagian hulu (point source pollution maupun
diffuse source pollution).
1.3.Manfaat penulisan
Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya yang
tinggal di tepi Sungai Brantas tentang kondisi sungai, dalam rangka kemungkinan
pemanfaatan untuk keperluan rumah tangga.
Memberikan
alternatif kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah untuk
pengelolaan lebih lanjut dan menjaga kelestarian sumberdaya Sungai Brantas Sanitta
Trisna H, Penentuan Status Kualitas Perairan Sungai Berantas Hulu 33
![](file:///C:\Users\UseR\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.gif)
ISI
2.1 Lokasi Pengukuran Kualitas Air
Penulisan makalah
ini disadur dari penelitian mahasiswa jurusan perikanan Universitas Brawijaya
Semarang.Dengan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
diskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1987). Pengamatan
dilakukan terhadap hewan makrobentos dan beberapa parameter kualitas air sepanjang Sungai
Brantas di bagian hulu. Pengambilan contoh air dan pengamatan terhadap
parameter-parameter dilakukan pada beberapa lokasi berdasarkan guna lahan.
Penelitian ini dilakukan di perairan Sungai Brantas bagian hulu, karena
diduga pada bagian hulu sungai ini telah terjadi pencemaran. Secara administrasi daerah penelitian
termasuk dalam wilayah Kabupaten dan Kota Malang, Propinsi Jawa Timur.
Lokasi pengambilan contoh air ditentukan berdasarkan tata guna lahan di sekitar
lingkungan perairan Sungai Brantas. Dengan dasar tata guna lahan tersebut, ditentukan
delapan lokasi pengambilan contoh air di aliran utama Sungai Brantas. Lokasi
tersebut adalah :
Lokasi I : Sumber Brantas, merupakan daerah sumber dari sungai Brantas dan
masih banyak areal hutan
Lokasi II : Junggo, merupakan daerah areal hutan pinus dan banyak digunakan
untuk pertanian serta perkebunan
Lokasi III : Sengkaling, merupakan daerah pertanian dan pemukiman
Lokasi IV : Sekitar Jl.Juanda, merupakan tempat pemukiman penduduk yang
padat
Lokasi V : Bumiayu, merupakan tempat pemukiman penduduk
Lokasi VI : Wonokerso, merupakan daerah pertanian
Lokasi VII : Kedung Pedaringan, merupakan daerah pertanian dan pemukiman
Lokasi VIII : Kemiri, merupakan daerah pertemuan antara sungai Brantas dan
Sub-DAS Lesti sebelum masuk ke Bendungan Sengguruh.
2.2 Pengambilan contoh dan
pengukuran kualitas air
Pengambilan contoh makrozoobentos untuk daerah substrat keras menggunakan
jaring bentos dengan ukuran
(20 x 30 cm, ukuran mata jaring 0.5 mm) dan untuk daerah substrat lunak
menggunakan Ekman Grab (15 x 15 x 20 cm). Adapun langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut : (1) contoh makrozoobentos diambil dengan menggunakan jaring
bentos atau Ekman Grab, dimasukkan dalam wadah plastik dan diawetkan dalam
alkohol 70%, (2) membawa ke laboratorium , dipisahkan antara kotoran dan
makrozoobentos kemudian diidentifikasi sampai tingkat famili, bila memungkinkan
sampai tingkat genus atau species. Pengambilan contoh kualitas air sungai dilakukan
bersama-sama pada lokasi pengambilan contoh. Pengambilan contoh air dilakukan
dengan Kemmerer Water Sampler.Jenis parameter dan cara pengukuran koalitas
air mengacu kepada KEP- 02/MENKLH/I/1988 (Tabel 1). BIOSAIN, VOL. 1 NO. 1,
April 200134
2.3
Parameter dan metode pengukuran kwalitas air
a.Parameter Fisika
1. Kecepatan arus m/det
Pelampung/Stopwatch, Lapangan
2. Kedalaman air m Tongkat
penduga ,Lapangan
3. Tipe substrat - Ukuran
partikel Laboratorium
4. Suhu °C Thermometer ,Lapangan
5. Padatan tersuspensi mg/l
Gravimetrik ,Laboratorium
b.Parameter Kimia
6. PH - pH-meter ,Lapangan
7. Oksigen terlarut (DO)
mg/l Titrimetrik, Lapangan
8. BOD5 mg/l Titrimetrik,
Laboratorium
9. COD mg/l Titrimetrik ,Laboratorium
10. Amonium (NH4+) mg/l
Spektrofotome trik ,Laboratorium
11. Kesadahan mg/l
Titrimetrik ,Laboratorium
C. Twinspan
Untuk mendapatkan klasifikasinya dari data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan klasifikasi bertingkat, yaitu dengan menggunakan suatu
program
komputer yang disebut Two-way Indicator
Species Analysis (TWINSPAN) dengan langkahlangkah
sebagai berikut :
- mendata taxa makrozoobentos yang ada
- memberi kode pada setiap taxa yang ditemukan dengan
maksimal 8 karakter
- memasukkan kedalam program komputer (Peeters dan Gylstra,
1997).
Indeks BMWP
Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mendapatkan status perairannya
dengan menggunakan Indeks BMWP. Langkah-langkahnya :
- data yang sudah diklassifikasikan dicocokkan dengan tabel
BMWP dan memberi score pada masing-masing famili per stasiunnya
- dari score yang diperoleh setiap famili makrozoobentos,
kemudian dicari nilai
Average Score Per Taxon (ASPT)-nya. Nilai ASPT ini yang
menentukan status kualitas
perairannya. Contoh perhitungan nilai ASPT
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Penentuan nilai
ASPT berdasar indeks BMWP
Taxa makrobentos Score Indeks BMWP
Thiridae = 6
Chirinomidae =2
Synceridae = -
Jumlah score =8
Nilai ASPT = 4
Nilai ASPT =6 -2
Nilai ASPT : 1-4 untuk perairan kotor berat
Nilai ASPT : 5-7 untuk perairan kotor sedang
Nilai ASPT : 8-10 untuk perairan bersih.
Site group A tersusun atas 1 pengamatan, yaitu stasiun 2 yang terletak di daerah
Junggo pada pengamatan bulan Juli. Pada site group ini
ditemukan makrobentos dari jenis Tricoptera yaitu Hydropsychidae yang
merupakan jenis makrozoobentos yang hidup di air jernih dengan
substrat berbatu dan berarus deras Stasiun ini mempunyai substrat kerikil,
pasir, dan batuan besar serta mempunyai kecepatan arus rata-ratanya 0.5
m/det.. Menurut Cairns dan Dicksons (1981), jenis may-flies
(Ephemeroptera), stone-flies (Plecoptera), dan Caddies flies
(Tricoptera) banyak ditemukan di air jernih.
Site group B juga hanya terdiri dari 1 pengamatan, yaitu stasiun 1 yang
terletak di
daerah Sumber Brantas pada
pengambilan sampel bulan Juli. Pada stasiun ini ditemukan makrozoobentos dari
jenis Ephemeroptera yaitu genus Baetidae, yang merupakan indikator pencemaran
pada site group ini yaitu dengan memberikan nilai negatif pada program
komputer TWINSPAN yang berarti organisme tersebut sensitif terhadap pencemaran.
Seperti halnya pada site group A, site group B juga mempunyai
substrat berbatu dan berarus cepat (0.89 m/det). Sepanjang alirannya juga ditumbuhi vegetasi berupa
pohon pinus dan tanaman perdu.
Site group C terdiri dari 3 pengamatan, yaitu stasiun 6
(Wonokerso) pada pengamatan bulan Maret, stasiun 2 (Junggo) pada pengamatan
bulan Mei, dan stasiun 2 (Junggo) pada pengamatan bulan Juni. Pada stasiun ini ditemukan
makrozoobentos dari jenis Diptera yang diwakili oleh Chironomus dan Ephemeroptera
yang diwakili oleh Bungona narilla, dimana Bungona narilla merupakan
indikator perairan yang bersifat sensitif terhadap
pencemaran, karena Ordo Ephemeroptera termasuk makrozoobentos yang dapat hidup
pada kualitas perairan dengan kisaran tertentu saja, yaitu dapat hidup pada
perairan dengan kandungan Okdigen terlarut (DO) yang cukup tinggi (8.8 ppm).
Persamaan dari
ketiga stasiun ini terletak pada daerah sekitar yang ditumbuhi tanaman perdu.
Selain itu arus pada ketiga stasiun ini termasuk
dalam kategori arus cepat (0.6-1 m/det). Site group D tersusun atas 4
pengamatan, yaitu stasiun 4 (Jl.Juanda) pada pengamatan bulan Maret, stasiun 5
(Bumiayu) pada pengamatan bulan Maret, stasiun 4 (Jl.Juanda) pada pengamatan
bulan April, dan stasiun 3 (Sengkaling) pada pengamatan bulan Juni. Pada site
of group ini stasiunnya banyak mengambil di daerah yang aliran sungainya melewati
pemukiman penduduk, kecuali stasiun 3 yang selain melewati daerah pemukiman
juga melewati persawahan. Makrozoobentos yang ditemukan adalah dari ordo
Pulmonata yaitu Limnaeidae. Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai
kisaran penyebaran yang luas di substrat berbatu, berpasir, maupun berlumpur, tetapi
organisme ini cenderung menyukai substrat berpasir. Kecepatan arusnya lambat (0.25
m/det) dan mempunyai substrat dasarpasir dan sedikit berlumpur.
Site group E juga terdiri dari 4 pengamatan yaitu di Sumber
Brantas (stasiun 1) pada pengamatan bulan Maret, Kedung Pedaringan (stasiun 7)
pada pengamatan bulan Maret, Bumiayu (stasiun 5) pada pengamatan bulan April,
dan Sengkaling (stasiun 3) pada pengamatan bulan Juli. Makrozoobentos yang ditemukan
pada site group ini adalah dari jenis Ephemeroptera (Baetis sp.),
Pulmonata (Brotia testudinaria), dan Diptera (Chironomous sp.).
Dari keempat
stasiun ini terdapat persamaan yaitu substrat dasarnya berupa kerikil dan batuan,
walaupun pada stasiun 5 substrat dasarnya sedikit berlumpur Macroinvertebrata yang
mampu hidup di sungai mempunyai morfologi berdasarkan adaptasinya terhadap kelimpahan
makanan yang berupa bahan organik. Bahan organik kasar yang berupa daun yang
jatuh ke sungai, umumnya di daerah hulu dimakan oleh kelompok shredder (pencabik
dan pengunyah) misalnya larva dan nymph insekta. Bahan organik halus dimakan dengan
cara disaring, diendapkan, dikumpulkan oleh kelompok scrapper (pengikis),
misalnya dari gastropoda dan filter feeder di daerah hilir (Cummins, 1974).
Site group F terdiri dari 3 pengamatan, yang masing-masing
terletak di jalan Juanda (stasiun 4) dan Bumiayu (stasiun 5) pada pengamatan
bulan Mei, serta di jalan Juanda (stasiun 4) pada pengamatan bulan Juli. Pada kelompok
ini masing-masing stasiun banyak terdapat pemukiman penduduk yang padat, dan
terdapat pasar, dimana limbah domestic dari pasar dan pemukiman tersebut
dibuang langsung ke sungai. Adanya sampah yang menghambat aliran sungai
menyebabkan arus menjadi lambat dan rendahnya kualitas air yang ada, ini dapat
dilihat dari data DO yang nilainya rendah (4-8 mg/l), dan nilai ammonianya yang
tinggi (0.084-0.211 mg/l), sehingga pada stasiun ini banyak ditemukan Chironomous
sp dan Tubifex sp, karena menurut Wilhm (1975), organisme Chironomous
sp dan Tubifex sp merupakan kelompok yang toleran, BIOSAIN, VOL. 1
NO. 1, April 200136 dimana organisme kelompok ini pada umumnya
tidak akan merasakan adanya tekanan lingkungan dan pengkayaan bahan organik.
Pada site
group G yang terdiri dari 6 pengamatan yaitu stasiun 8 (Kemiri) pada ke ³ bulan
pengamatan (Maret, April, Mei, Juni, Juli) dan stasiun 2 (Junggo) pada
pengamatan bulan April, ditemukan makrozoobentos dari jenis Gammaridae yang
bersifat sensitif terhadap pencemaran. Hal ini ditandai dengan adanya nilai negatif (-)
pada pengklassifikasian dengan menggunakan program komputer TWINSPAN.
Site group H tersusun dari 7 pengamatan, yaitu pada pengamatan bulan Maret 2 stasiun:
Junggo (stasiun 2) dan Sengkaling (stasiun 3), Sumber Brantas (stasiun 1) yang
terbagi menjadi 3 stasiun (pengamatan bulan April, Mei, Juni), serta Bumiayu
yang terbagi menjadi 2 stasiun (pengamatan bulan Juni dan Juli).. Pada site
group ini ditemukan makrozoobentos dari jenis Baetidae, Simullidae, dan
Hydropsychidae yang merupakan jenis makrozoobentos yang hidup di substrat berbatu
dan berarus deras. Site of group ini
mempunyai substrat yang berbatu, berarus cepat (0.3-0.9 m/det) dan disekitarnya
terdapat vegetasi.
Menurut Mulyanto (1992) cara hidup organisme di sungai dengan aliran cepat
yaitu dengan
melengkapi rahang yang kuat
(Baetidae) dan dengan adanya bentuk tubuh yang datar. Site group I
terdiri dari 5 pengamatan, yang masing-masing terletak di Kedung Pedaringan
(stasiun 7) yang terbagi menjadi ò stasiun pengamatan : bulan April, Mei, Juni, dan Juli; dan di Wonokerso
(stasiun 6) pada pengamatan bulan Juli. Tata guna lahan disekitar stasiun ini
adalah pertanian dan pemukiman, dimana disekitar aliran sungainya ditumbuhi
vegetasi berupa semak-semak dan pohon bambu. Pada stasiun ini banyak
ditemukan makrozoobenthos
jenis
Gastropoda, hal ini kemungkinan disebabkan adanya masukan bahan organik
yang tinggi
dari daerah pemukiman dan
pertanian dimana bahan organik tersebut merupakan sumber makanan bagi
makrozoobenthos jenis Gastropoda. Jenis Gastropoda dari beberapa familinya
diketemukan pada aliran sungai yang terdapat vegetasi di tepian sungainya
(Quigley, 1977). Keadaan kualitas air pada site group ini yang mendukung
keberadaan Gastropoda adalah DO-nya tinggi (8-9 mg/l), pH netral (7.2-8.3) dan
kesadahan yang tinggi (222-253 mg/l). Hal ini sesuai dengan pendapat Hynes
(1976), bahwa jenis siput
lebih banyak dijumpai pada perairan yang sadah dimana pada perairan yang
demikian, Ca akan dimanfaatkan untuk pembentukan cangkang. Site group terakhir
yaitu site group J terdiri dari 6 pengamatan, yaitu stasiun 3
(Sengkaling) pada pengamatan bulan April, Mei; stasiun 4
(Jl. Juanda) pada
pengamatan bulan Juni; dan stasiun 6 (Wonokerso) pada pengamatan bulan April,
Mei dan Juni. Dari keenam stasiun tersebut, pengamatan pada stasiun 3 dilakukan
pada saat musim penghujan, sehingga makrozoobentos yang ditemukan hanya
sedikit, karena kemungkinan makrozoobenthos tersebut sebagian terbawa arus.
Seperti halnya pada site group I, pada site group ini tata
guna lahannya adalah pertanian dan pemukiman penduduk. Menurut Musa et al.
(1996), secara umum limbah rumah tangga berupa bahan organik dan limbah
pertanian biasanya berupa sisa pupuk, pestisida, dan lumpur. Makrozoobentos
yang ditemukan adalah dari jenis Gastropoda yaitu Syncera javana dan
Melanoides sp dengan kelimpahan yang tinggi.
2.4 Status perairan sungai
brantas hulu
Berdasarkan nilai Indeks BMWP dan perhitungan nilai ASPT, maka pada
penelitian ini didapatkan kisaran angka ASPT antara 4 - 6.3 yang berarti bahwa
kondisi perairan ini berada pada status perairan kotor sedang sampai dengan
kotor berat. Adapun data lengkapnya adalah sebagai berikut : Dari hasil
analisis BMWP, diketahui bahwa pada site group A mempunyai kondisi
perairan yang kotor sedang, yang ditunjukkan dengan nilai ASPT yang rendah (5).
Pada site group B diketahui mempunyai status perairan kotor sedang.
Status perairan
ini diperoleh dari nilai
Indeks BMWP yang juga rendah yaitu 5. Seperti halnya pada site group A,
pada site group B ini juga disusun oleh dua famili yaitu Tipulidae yang mempunyai
skor 5 dan famili Muscidae yang juga mempunyai skor 5 dalam tabel BMWP. Site
group C mempunyai status perairan
kotor sedang. Ini didapat
dari nilai ASPT yang cukup tinggi yaitu 6.3 yang dibulatkan menjadi 6. Namun
walaupun mempunyai nilai ASPT yang tinggi, namun masih dalam kisaranperairan
kotor sedang karena tidak mencapai angka
8. Tingginya nilai ASPT pada daerah ini karena terdapatnya famili
Leptophlebidae dan Chloroperliidae yang mempunyai skor 10, sehingga dapat
memperbesar nilai ASPT-nya. Sanitta Trisna H, Penentuan Status
Kualitas Perairan Sungai Berantas Hulu 37
Analisis BMWP pada site group D memberikan hasil bahwa stastus
perairan dari site group ini termasuk dalam kategori perairan kotor
sedang dengan nilai ASPT yang rendah yaitu 5. Rendahnya nilai ASPT ini
dikarenakan ditemukannya famili Lumbricullidae yang mempunyai skor 1, sehingga
akan mempengaruhi nilai ASPT yang didapat.
Pada site group E status perairannya Adalah kotor berat, yang
ditunjukkan dengan nilai ASPT yang rendah yaitu 4. Status perairan yang kotor
berat ini dapat disebabkan karena sebagian anggota dari site group ini mempunyai
arus yang lambat, yang dapat menyebabkan terakumulasinya bahan organik di dasar
perairan dan dengan adanya pengkayaan bahan organik dan arus yang lambat akan
terjadi modifikasi substrat, yaitu substrat dasar menjadi berlumpur. Pada site
group ini ditemukan antara lain famili Lumbricullidae dan Chironomidae
yang mempunyai skor rendah yaitu 1 dan 2.
Site group F mempunyai status perairan kotor sedang dengan nilai ASPT yang cukup rendah
yaitu 5.3. Nilai ASPT yang tidak begitu rendah ini dikarenakan dalam site
group ini ditemukan famili Leptophlebiidae yang mempunyai skor 10 dan
famili Chironomidae yang mempunyai skor 2, sehingga apabila dihitung nilai ASPT-nya
adalah 5.3, dimana nilai 5.3 ini masih dalam kategori perairan kotor sedang.
Untuk stasiun yang lebih ke bawah menuju ke hilir, pada umumnya mempunyai status
perairan yang kotor berat (site group G dan site group H), namun
pada site group I dan site group J mempunyai status perairan
dalam kategori kotor sedang. Pada site group G dan H antara lain
ditemukan makrozoobentos dari famili Chironomidae (skor 2), Lumbriculidae (skor
1) dan Annelida (skor 1), sehingga nilai ASPT-nya rendah (4). Selain itu familiChironomidae,
Lumbriculidae dan Annelida merupakan
organisme yang toleran terhadap pencemaran. Sedang masih adanya bagian sungai yang
mempunyai kondisi perairan kotor sedang seperti pada site group I dan site
group J, karena pada site group tersebut ditemukan makrozoobenthos
dari famili Perliidae dan Leptohlebiidae yang mempunyai skor tinggi (10).
Disamping itu menurut data ekologis yang ada, pada kedua site group tersebut
mempunyai nilai TSS yang cukup tinggi (0.006-0.159), sehingga ada kemungkinan bahwa
famili Perliidae dan Leptophlebiidae kurang mampu beradaptasi dengan kandungan TSS
yang relatif tinggi, karena padatan tersuspensi dapat menghalangi penetrasi cahaya
matahari yang diperlukan oleh alga dan mikrofita untuk berfotosintesa sehingga
secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan makanan makro zoobentos.
Bila dilihat dari nilai ASPT-nya, maka pada site group yang
mempunyai status perairan
kotor sedang (site group
A, B, C, D, F, I dan J) secara umum dapat dimanfaatkan untuk keperluan
pertanian, peternakan dan perikanan, karena nilai kualitas air pada site
group yang mempunyai status perairan kotor sedang masih memenuhi
kriteria standart baku mutu badan air kualitas C.
Sedangkan site group yang mempunyai status perairan kotor berat (site
group E, G, dan H), bila dilihat dari kualitas airnya hendaknya sebelum
dibuang ke sungai harus melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
![](file:///C:\Users\UseR\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image003.gif)
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis data yang diperoleh, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan
sebagai berikut :
Dari 8 stasiun pengamatan pada Sungai Brantas bagian hulu pada penelitian
yang dilakukanselama 5 bulan (Maret-Juli) ini berdasar pada komunitas
makrobentosnya dengan menggunakan program komputer TWINSPAN dapat
diklasifikasikan menjadi 10 site of group (A, B, C, D, …,J).
Site of group A, B, C, E, dan G ditemukan makrozoobentos antara lain dari famili Baetidae,
Leptophlebiidae, Chloroperliidae, dan Gastropoda , yang mempunyai habitat pada
substrat dasar kerikil, pasir, dan batuan dengan kecepatan arus cepat (0,5-1 m/det),
suhu 17-27 °C, kadar BOD 6,7-7,³ mg/l,
dan kandungan COD 5,2-11,2 mg/l..
Site of group D, F, H, I, dan J ditemukan makrozoobentos dari famili Hydrop sychidae, Chironomidae,
dan Lumbri cullidae, yang sesuai dengan tempat hidup berupa substrat dasar
lumpur dan pasir, dengan kecepatan arus lambat (0,15-0,³ m/det), suhu 20-25 °C, kadar BOD 4,7-7,9 mg/l, dan kandungan COD 9-12,4 mg/l.
Distribusi makroinvetebrata dibatasi oleh tipe substrat, yaitu kelompok
yang hidup didaerah eroding substrata (batu, kerikil, pasir) dan
kelompok yang hidup didaerah depositing substrata (lumpur). Komposisi BIOSAIN,
VOL. 1 NO. 1, April 2001 38 makrozoobentos yang
ditemukan di daerah eroding substrata seperti pada site of group A,
B, C, E, G, dan H lebih besar dibandingkan dengan di daerah depositing substrata
seperti pada site of group D, F, I, dan J.
Status perairan sungai
Brantas bagian hulu yang ditentukan dengan menggunakan Indeks BMWP pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Site of group A, B, C, D, F, I, dan J mempunyai status
perairan kotor sedang dengan nilai ASPT berkisar antara 4,8 sampai dengan 6,3.
- Site of group E, G, dan H mempunyai status
perairan kotor berat dengan nilai ASPT berkisar antara 4 sampai dengan 4,5.
3.2 Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai status
dan kualitas perairan Sungai Brantas bagian hulu dengan pemilihan waktu
penelitian yang jelas misalnya pada musim penghujan atau musim kemarau, tidak
dalam musim peralihan.
Menjadikan bagian sungai Brantas pada site of group G
sebagai daerah konservasi karenapada daerah tersebut masih baik kondisi perairannya.
Ini dapat dilihat dari keberadaan komunitas makrozoo benthosnya
yang masih mempunyai kelimpahan dan keanekaragaman yang tinggi.
Misalnya dengan menjadikan site of group ini sebagai daerah penangkapan
ikan Mas (Cyprinus carpio), Tawes (Punctius javanicus) dan
Mujaer (Oreochromis mossambica), dimana ikan tersebut dapat memanfaatkan
makrozoobentos yang ada seperti ikan Mas (Cyprinus carpio), yang
memanfaatkan makrozoobentos jenis Trichoptera untuk kehidupannya.
Menjadikan bagian sungai Brantas pada site of group A,
B, C, D, E, F, I dan J sebagai daerah rehabilitasi mengingat pada
daerahdaerah tersebut kondisi perairannya sudahmenurun.
![](file:///C:\Users\UseR\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image004.gif)
_______,. (1996). Panduan Penyuluhan
Prokasih. Pemerintah Propinsii Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Perum
Jasa Tirta. Surabaya.
16 hal.
Cairns J.Jr dan K.L.Dicksons. (1981). Biological
Methods for Assessment of Water Quality. Merican Society Testing and
Mateerial (ASTM) Special Technical Publication. America.
Cummins, K.W. (1974). Structure and Function
of Stream Ecosystem. Biosciences 24 : 531-641.
Hynes, H.B.N. (1976). The Ecology of Running
Water. Third Edition. University
of Toronto Press. Liverpool. 518 hal.
Mulyanto. (1992). Manajemen Perairan.
LUWUNIBRAW- FISH. Fisheries Project Unibraw. Malang.
Musa, M.; Kartini; M.
Mahmudi. (1996). Studi Tentang Jenis Limbah…di Kawasan Hutan Mangrove Desa
Curah Sawo, Kecamata nGending, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya,
Malang.
Nawawi, H. (1987). Metode Penelitian. Gadjah
Mada University
Press. Yogyakarta.
Nontji, A. (1986). Rencana
Pengembangan Puslitbang Limnologi. LIPI pada Prosiding Expose
Limnologi dan Pembangunan.
Bogor.
Odum, E.P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Alih Bahasa
: Samingan, T. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Orth, D.J dan O.E. Maughan. (1983). Microhabitat Preference of Benthic Fauna in
Woodland Stream. Hydrobiologia, 106:157-168.
Peeters, E.T.H.M dan
Gylstra, R. (1997). Manual
On TWINSPAN, Background, application, interpretation. Departement of Water Quality Management and Aquatic Ecology.Agricultural
University Wageningen, the Netherlands. 28
hal
Quigley, M. (1977). Invertebrates of Stream
and Rivers, akey to dentification. Edward Arnold PublishersLtd. London. 84 hal.
Wilhm, F.F. (1975). Biological Indicator
Pollution In B.A. Whitoon, (Ed.) River Ecology. Blackwell Scientific
Publ. Oxford, England.
375-402 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar